CATATAN PERJALANAN KE ANNAPURNA BASE CAMP (CHHOMRONG – HIMALAYA )

June 09, 2020

Salah satu spot terbaik di Chhomrong
Chhomrong, sebuah desa yang cukup besar di kaki Pegunungan Himalaya dengan sejuta pesona. Letaknya yang berada di sepertiga perjalanan menuju ABC, atau sekitar 6 jam dari titik awal rute pendakian (Siwei), membuat desa ini sangat pas dijadikan tempat bermalam. Selain itu, letak desa ini yang berada di puncak sebuah bukit membuat desa ini memiliki panorama yang luar biasa indah. Gagahannya puncak Annapurna dan Fishtail yang menjulang tinggi dapat dilihat dengan jelas dari desa ini. Tak khayal jika di desa ini menjadi desa terbesar di sepanjang jalur menuju ABC.

Sore itu menjadi sore yang sangat spesial bagi gue. Tak ada lembayung. Juga tak ada lagu indie. Hanya ada sebuah pemandangan yang luar biasa memesona. Tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika sore itu, tanggal 26 Desember 2019, gue dapat duduk ditemani segelas teh panas, memandangi dua puncak mashur Pegunungan Himalaya, yaitu Annapurna dan Fishtail. Udara sore ketika itu masih sekitar 8 derajad celcius. Namun angin yang berhembus cukup kencang membuat badan gue menggigil. Tak kuasa jika terlalu lama duduk di tempat terbuka.

Langit mulai gelap. Udara dingin semakin menusuk tulang. Namun perut yang keroncongan memaksa gue harus keluar kamar, menuju kantin. Ternyata di kantin yang berukuran sekitar 6x6 meter telah berkumpul para pendaki yang sedang menyantap makan malamnya. Suasana malam yang dingin berubah jadi hangat ketika para pendaki saling berdesakan, bercanda, dan berbagi cerita satu sama lain.

Korea. Sebuah negara yang terkenal dengan KPOPnya dan gudangnya gadis-gadis jelita ternyata memiliki sebagian warganya memiliki jiwa petualang. Sebelumnya gue berpikir kalo orang-orang Korea tu manja, lemah, dan gak suka dengan petualangan. Ternyata pikiran gue salah! Orang Korealah yang paling banyak gue temuin sepanjang perjalanan menuju ABC. Tak hanya cantik dan ganteng, mereka juga ramah-ramah. Suaranya juga aduhai. Melting hati gue setiap mendengar mereka berbicara hahaha.

Ada beberapa pelajaran yang gue dapatkan sepanjang pendakian hari pertama. Salah satunya adalah keniscayaan bahwa orang Eropa itu haus akan ilmu pengetahuan. Yups, meskipun mereka sedang mendaki gunung, buku tidak lupa mereka bawa. Baik itu orang dewasa maupun anak-anak. Buku apapun itu, mereka selalu bawa. Mereka langsung buka buku bereka setelah tiba di tempat penginapan ataupun ketika sedang istirahat sejenak. Baca, baca, dan baca! Dari sini gue mengerti mengapa pereadaban mereka jauh dilebih maju. Budaya haus akan ilmu pengetahuan adalah salah satu penyebabnya. Beda sama gue. Sesampainya di penginapan, yang pertama gue cari adalah sinyal internet. Setelah itu bukannya gue akses situs-situs yang bermanfaat, tetapi malah media sosial yang isinya gak berbobot, tak jauh dari hoax-hox yang berseliweran. Jujur gue merasa sedih.

Malam telah larut. Sebelum tidur, gue teringat bahwa gue belum sholat maghrib dan isya. Terpaksa gue copot kaos kaki dan jaket tebal saya untuk menyucikan diri dengan bertayamum. Yups, tayamum. Gue gak kuat kalo harus wudhu pakai air yang sedingin es. Bisa-bisa tangan gue beku hahaha. Meskipun telah menggunakan kaos kaki, dinginnya lantai mampu menusuk telapak kaki. Mau gak mau gue sholat beralaskan selimut tebal agar telapak kaki gue hangat.  Setelah sholat, langsung deh gue bersembunyi, meringkuk dibalik selimut tebal. Meringkuk di dalam selimut tebal dengan pakaian serba tertutup dari ujung kaki hingga ujung kepala merupakan sebuah kenikmatan ditengah suhu udara yang mencapai 3 derajad celcius.

Hari ke-4

Subuh menjelang. Sebuah cobaan yang sangat berat untuk beranjak dari tempat tidur dan melaksanakan sholat subuh. Yups, gue mempunyai prinsip di manapun gue berada, dan seberapapun berat kondisinya, gue tetap berusaha untuk mendirikan sholat. Bagiku, mendirikan sholat adalah sebuah kebutuhan demi sebuah ketenangan batin, menjaga amanah, dan agar selalu dekat dengan Sang Pencipta.

Menikmati sun rise dengan pemandangan puncak Fishtail dan Annapurna adalah suatu yang priceless. Meskipun dingin menusuk tulang, dengan berbekal teh hangat gue duduk di balkon menikmati pemandangan super istimewa tersebut. Tentunya sambil berharap, “segeralah mentari bersinar.”

Hari baru telah tiba. Mantari telah memancarkan sinarnya demi kehangatan kami. Cahaya keemasannya sangat elok tatkala dipantulkan oleh putihnya es yang ada dipuncak Annapurna. Now, the journey must go on! Setelah menikmati sarapan dengan menu nasi goreng telur, kamipun melanjutkan pendakian. Target kami dihari ini adalah sampai di Himalaya.

Pengecekan dokumen di Chhomrong

Tepat pukul 08.00, kami mulai pendakian. Di Desa Chhomrong ini juga terdapat pos pemeriksaan dokumen para pendaki. Apa saja yang diperiksa? Gue juga gak begitu paham hahaha. Lha udah diurus sama guide, gue termia beres aja. Tapi kalo gak salah adalah fotokopi passport, foto 3x4, dan biaya administrasi. Di pos pemeriksaan ini juga terdapat info perkiraan cuaca di sepanjang rute perjalanan menuju ABC. So, kita bisa berjaga-jaga dan mempersiapkan segala kebutuhan untuk menghadapi cuaca tersebut. Dan untungnya, cuaca dalam dua hari mendatang cerah, tidak ada badai! Alhamdulillah.

Posisi Desa Chhomrong yang berada di atas bukit membuat kami harus menuruni tangga yang cukup curam untuk keluar desa. Jadi, kalau mau masuk Desa Chhomrong, kalian harus mendaki ribuan tangga. Terus kalo mau meninggalkannya, kalian harus menuruni ribuan tangga pula hahaha. Ada suatu hal yang membuat pikiranku tak tenang ketika menuruni tangga Chhomrong, yaitu bagaimana nanti pulangnya? Gila aja naik ribuan tangga ketika stamina udah ngedrop, nafas udah empot-empotan? Tapi pikiran itu gue enyahkan sekekita. Perjalanan masih jauh bung! Itu pikir nanti! Belum juga kami tiba di ABC udah mikirin perjalanan pulang. Kami masih harus melewati kampung Sinua, Bamboo, Dovan, Himalaya, Deuralli, dan MBC untuk bisa mencapai ABC.

Jalur mulai keras bung!
Setelah keluar dari desa Chhomrong, kami kembali dihadapkan dengan puluhan ribu tangga yang harus kami daki. Selama perjalanan menuju Sinua, di beberapa tempat kami masih bisa mendapatkan sinyal internet. Jika smartphone bergetar, langsung saja kami beristirahat. Lumayanlah bisa scrolling timeline, dan sesekali unggah foto hahaha. Diawal perjalanan hari kedua ini kami lalui dengan santai. Tak perlu terburu-buru. Kami perkirakan sampai di Himalaya sekitar pukul 17.00. *Namun apa yang terjadi? Simak cerita ini sampai habis.

Setelah berjalan selama dua jam tiga puluh menit, kami akhirnya tiba juga di Sinuwa. Desa ini tak begitu besar. Hanya terdapat beberapa Tea House. Desa ini memang tidak menjadi tempat favorit untuk bermalam para pendaki. Selain karena pemandangannya yang tak seelok Chhomrong, lokasi desa ini juga kurang pas dengan jadwal perjalanan. Atau istilah gampangnya “nanggung”. Biasanya para pendaki hanya singgah sejenak, pesan minuman, atau hanya sekedar beristirahat mengatur nafas setelah melewati ribuan tangga lalu kembali melanjutkan pendakian.

Monyet bergelantungan di pohon

Setelah beristirahat sekitar satu jam, kami melanjutkan perjalanan. Waktu menunjukkan pukul 11.30. Perjalanan menuju Bamboo diperkirakan sekitar satu jam tiga puluh menit saja. Menurut gue perjalanan menuju Bamboo merupakan yang paling enak. Selain treknya yang cenderung datar, dibeberapa tempat gue juga melihat kerumunan monyet yang bergelantungan di sepanjang jalan. Takut? Ya takutlah! Monyetnya lumayan besar bro! Banyak pula! Kalo tiba-tiba nyerang gue kan repot. Tapi untungnya monyet-monyet tersebut baik-baik semua #mungkin. Mereka cuma ngintip kami dari balik pohon. Mungkin mereka spesies monyet pemalu ya? Hahaha.

Setiap desa pasti ada papan seperti ini.

Sekitar pukul 13.00 akhirnya kami tiba di desa Bamboo. Di sini kami akan makan siang sekaligus mengistirahatkan badan yang telah letih. How about lunch menu? Seperti biasa. Gak ada yang berbeda. Tak jauh-jauh dari pesan nasi goreng ataupun mie rebus hahaha. Cuaca siang itu terasa sangat nyaman. Matahari bersinar terang. Langit biru terbentang tanpa noda awan sedikitpun. Nyaman. Makan siang yang nyaman.

Desa Bamboo
Sekitar pukul 14.30 kami melanjutkan perjalanan menuju Dovan. Setelah perjalanan yang cukup nyaman dari Sinuwa ke Bamboo, kini kami kembali dihadapkan dengan tangg yang tak ada putus-putusnya menuju Dovan. Perjalanan terasa begitu lama dan melelahkan. Akhirnya sekitar pukul 16.30 kami tiba di Dovan. Kami sempat perpikir untuk bermalam di Dovan saja mengingat hari sudah sore. Namun, pertimbangan perjalanan esok yang pastinya akan lebih panjang membuat kami nekat untuk melanjutkan perjalanan menuju Himalaya.

Sebenarnya, seletah dari Bamboo, tim kami terbagi menjadi 3 kelompok. Kelompok depan adalah Farhan dengan sang guide. Bening, Abu, dan sang porter ada jauh di belakang. Sedangkan gue berada di tengah-tengah sendirian. Jujur, speed gue gak terlalu cepat. Namun juga gue juga gak bisa jalan lambat. Kalo jalannya lambat, gue ngasa kalo malah tambah bikin capek coy! Gue pun memutuskan untuk jalan sendiri. “Toh jalannya udah jelaskan. Tinggal ikuti jalan berbatu dan ikuti kabel listrik sampai deh di desa selanjutnya,” pikir gue.

Pukul 17.00 akhirnya gue bertemu sama kelompok depan yang udah menunggu di Upper Dovan. Di sini sang guide ditelpon oleh si porter, beliau memberi tau bahwa kelompok belakang udah gak kuat jalan lagi. Kakinya udah kram. Kami pun langsung memutuskan untuk bermalam di Upper Dovan. Sang guide pun menanyakan ke beberapa pemilik Tea House apakah ada kamar kosong atau tidak. Namun naas, sore itu semua kamar di Upper Dovan udah full. Setelah berembuk sebentar, kami memutuskan untuk tetap bermalam di Himalaya. Rencananya, sang guide mengantar kami sampai di Himalaya terlebih dahulu, lalu beliau kembali turun untuk menjemput kelompok belakang. Gila kan? Iya gila. Macam gak punya capek! Tapi itu kenyataan guys!

Semakin jauh, medan yang dihadapi semakin beragam.

Akhirnya sekitar pukul 17.15 kami melanjutkan perjalanan ke Himalaya. Karen stamina gue udah tipis, gue mempersilakan Farhan dan sang guide untuk jalan duluan. Tujuannya adala biar sang guide bisa segera sampai di Himalaya, booking kamar dan cepat kembali kebawah jemput kelompok belakang.

Gue jalan sendirian. Langit udah semakin gelap. Ditambah lagi rimbunnya pepohonan disepanjang jalan semakin membuat suasana lebih horror. Gue kira hanya butuh sekitar tiga puluh menit hingga satu jam saja untuk sampai di Himalaya. Tapi ternyata, sampai pukul 17.45 gue belum juga nyampe di Himalaya. Gue sempat berpikir bahwa gue tersesat. Lha gimana lagi. Selama lima belas menit terakhir gue gak berpapasan dengan satupun orang. Terlebih lagi hutannya semakin lebat. Tanahnya semakin lembab. Udah seperti jalur yang telah lama gak dilewati orang. ”Astaga, jangan-jangan gue tersesat,” itulah yang ada dipikiran gue. Jaket dan segala perlengkapan penghangat badan gue dibawa sang porter lagi. Gila aja gue tidur di alam terbuka di tengah hutan Himalaya. Mati beku coy!

Kurang lebih jalur Dovan - Himalaya seperti ini. Sore hari akan lebih gelap.

Gue pun memutuskan untuk istirahat sejenak menenangkan pikiran. Tayamum dan sholat jamak Dzuhur dan Asar. Yups, gue sholat di tengah hutan Himalaya, sendirian, ketika langit udah menjelang maghrib. Yang ada di pikiran gue adalah jikalau gue tersesat dan mati, setidaknya gue udah sholat. Udah tobat dulu hahaha. Setelah pikiran agak tenang, gue melanjutkan perjalanan. Gilak, jalurnya semakin nanjak coy! Gue semakin frustasi. Tangganya gak berperikemanusiaan. Ditengah perjalanan, ketika matahari sudah tenggelam, gue melewati sebuah bangunan kecil dengan berbagai sesaji ada di dalamnya. Baunya harum lagi. Seketika badan gue merinding. Edyaaan! Ini kuburan coy! Ngeri!

Malam semakin larut. Sumber penerangan gue hanyalah flash dari smartphone. Bukannya jalurnya semakin landai, justru malah tangganya semakin menjadi-jadi. Biar gak semakin frustasi, gue jalan sambil nunduk. Gue gak mau liat ke atas, ke tangga yang tak terlihat ujungnya. Lima menit, sepuluh menit berlalu. Dan gue masih belum melihat tanda-tanda bahwa gue hampir sampai di Himalaya. Meskipun stamina gue udah terkuras habis, kaki gue udah pegel-pegel, dan rasa frustasi menjadi-jadi, tetapi otak gue bialang, “terus jalan, ayo terus jalan. Jangan berhenti!“

Nafas semakin berat. Oksigen semakin menipis. Udara dingin menusuk tulang. Menembus jaket tipis yang gue kenakan.

“Ayolah, lampu mana lampu. Kok belum juga keliatan sih?.”

Dipikiran gue, kalau sudah terlihat lampu berarti gue sudah hampir sampai. Setelah berjalan sempoyongan sekitar tiga puluh menit, akhirnya gue melihat cahaya lampu dikejauhan. “Alhamdulillah. Gue gak tersesat!” Karena sudah melihat tanda-tanda kehidupan, guepun berhenti sejenak. Beristirahat setelah lelah berjalan, meniti tangga yang tak berujung. Setelah berusaha keras mengerahkan sisa-sisa tenaga, sekitar pukul 19.00 guepun tiba di Himalaya Tea House.

Kebahagiaan tak terperikan setelah gue melepaskan tas dan berbaring di kasur. “Alhamdulillah gue gak kesasar. Gue masih bisa berselimut hangat!”. Kalimat tersebut terus terulang-ulang dipikiran gue. Sekarang tinggal menunggu kelompok belakang yang masih dalam perjalanan. Setelah menunggu cukup lama, sekitar pukul 19.45 akhirnya mereka tiba juga. Alhamdulillah kondisi mereka gak terlalu buruk. Setelah mereka istirahat sejenak, kamipun langsung pergi ke kantin untuk makan malam. 27 Desember 2019, sungguh menjadi hari yang sangat berat dalam hidup gue.

Tumpukan es di salah satu sudut Himalaya Tea House.



You Might Also Like

0 komentar