Pukul
16.00 WIT. Matahari masih enggan menampakkan keelokan wujud sempurnanya.
Bersembunyi di belakang gumpalan awan mendung, tak pekat, namun mampu untuk
menyembunyikan wujud agung sang mentari. Tak apalah, toh hanya dengan
sinar-sinar pantulannya saja sudah mampu menghadirkan keagungan senja.
Perahu
kecil kami terus melaju, membelah lautan yang sudah mulai tenang setelah badai.
Berkejaran dengan datangnya malam. Di kejauhan, nampak deretan rumah panggung
berada tepat di atas bibir pantai. Geliat aktivitas penduduk kampung tersebut juga
nampak jelas terlihat dari kejauhan. Sebuah kampung kecil di pinggiran pulau
Rumberpon. Yaaa… itulah Kampung Yomakan. Kampung yang kami tuju.
“Alhamdulillah, sampai juga
akhirnya.”
Kondisi
kampung waktu itu masih basah. Terlihat genangan-genangan air masih ada di mana-mana. Pohon-pohon masih
terus meneteskan dinginnya air sisa hujan tadi. Akan tetapi kondisi tersebut
tak menyurutkan semangat warga untuk tetap beraktivitas sore. Para pemuda desa menghabiskan
waktu senjanya dengan berolahraga voli di lapangan depan gereja. Anak-anak asik
kejar-kejaran kesana kemari. Seperti biasa, anak yang paling kecil selalu yang
suruh untuk mengejar anak-anak yang lebih senior. Dan itupun berlaku dari awal
hingga akhir. Itulah hukum permainan anak-anak, yang kecil yang terbully. Sedangkan para ibu-ibu sibuk
merumpi segala sesuatu yang bisa dirumpikan.
Rumah
yang pertama kali kami tuju setelah tiba di Kampung Yomakan adalah kediaman
bapak kepala kampung. Layaknya sebagai tamu-tamu normal lainnya, kami harus meminta
izin sekaligus menginformasikan tujuan kami berada dikampung ini kepada segenap
aparat kampung. Menyampaikan maksut dan tujuan kami datang ke kampung ini
merupakan hal mutlak yang harus dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan
dari warga kampung. Maklum, hari itu tepat seminggu sebelum pilkada Provinsi
Papua Barat, jadi kampung-kampung harus waspada terhadap potensi-potensi
kampanye gelap dikala minggu tenang.
Setelah
proses perijinan selesai, kami langsung menuju rumah yang biasanya dijadikan
tempat menginap para petugas BPS. Yups, di mana lagi kalau bukan di kios milik
orang Buton. Kesamaan keyakinanlah yang menjadi pertimbangan utama kami dalam
hal memilih tempat menginap ketika berada di kampung-kampung. Kami bisa lebih
leluasa untuk melakukan ibadah dan tak ragu untuk mnyantap makanan yang mereka
hidangkan, karena label halal Insya Allah tertempel di setiap makanan yang
mereka hidangkan hehehe.
Namun
sungguh sial, rumah yang biasanya biasanya ditumpangi para pegawai BPS baru
saja terkena musibah. Beberapa hari yang lalu si jago merah tanpa ampun melahap
rumah semi permanen yang mereka ditinggali. Tak ada sisa sedikitpun walaupun
itu hanya selembar papan kayu saja. Sungguh malang nasib keluarga Buton satu
ini.
Dengan
mempertimbangkan segala aspek, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di rumah
bapak Kepala RT 1. Bapak Kepala RT 1 ini memiliki nama belakang Labobar,
tentunya dia bukan orang Papua dong… Yups, beliau adalah orang asli Maluku. Namun
sudah berpuluh-puluh tahun merantau meninggalkan kampung halamannya dan
terdampar di Kampung Yomakan. Beliaupun menemukan jodohnya di kampung ini juga.
Malam
telah tiba. Saatnya untuk beristirahat. Malam itu hujan deras yang disertai
angina kencang mengguyur kampung kecil ini. Terdengar jelas deburan ombak air
laut tepat dibawah rumah panggung menjadi aluran pengantar tidur yang tentunya memberikan
nuansa mencekam. Bagaimana kalau rumah panggung ini tiba-tiba roboh tersapu
ombak? Tapi rasa was-was tersebut tak mampu untuk meredam rasa kantuk dan capek
yang aku rasakan. Akhirnya Good Night
:D
---
0 0 ---
Matahari
mulai merangkak-rangkak naik diatas bukit tepat dibelakang kampung. Sinar
kuning mulai menyinari hamparan bumi Papua Barat dengan energy semangat
paginya. Berbagai aktivitas di kampung mulai terlihat, terutama anak-anak yang
bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Anak-anak kecil usia SD terlihat semangat
untuk menuntut ilmu meskipun dengan perlengkapan yang seadanya. Jangan tanya
tentang warna-warni seragam sekolah seperti yang sering kita lihat di kota-kota
besar. Jangan tanyakan sepatu merek apa yang mereka pakai. Jangan pula tanya
berapa uang saku yang mereka bawa. Hanya bermodal seragam merah putih yang
sudah lusuh (meskipun waktu itu hari sabtu, mereka tetap pakai sragam merah
putih, mungkin karena itu sragam satu-satunya yang mereka punya), mereka
semangat pergi ke sekolah.
Akan
tetapi, fasilitas pendidikan yang ada di kampung ini hanyalah sebuah Sekolah
Dasar dengan fasilitas yang seadanya. Tenaga pengajarnya pun sangat minim. Ada
beberapa nama guru pegawai negeri di papan daftar tenaga pengajar. Namun
keberadaan guru-guru ini tak selalu ada di sekolah. Mereka lebih senang untuk
bermukim di kota dan hanya sesekali kembali ke kampung ini. Hanya beberapa
honorer yang terlihat tinggal di lingkungan sekolah.
Kondisi Ruang Kelas SD Yomakan |
Melihat
semangat mereka untuk menuntut ilmu membuat diriku semakin terlecut untuk terus
dan terus belajar. Mereka yang dengan segudang kekurangan saja tetap semangat
untuk menuntut ilmu. Sungguh merugi jika aku tak mampu memanfaatkan fasilitas
dan kesempatan yang lebih luas dari mereka untuk terus menuntut ilmu.
Dihari
kedua aku berada di Yomakan, aku merasa lebih mengenal kampung ini, bagaimana
masyarakatnya, kondisi ekonomi, dan masih banyak lagi. Baiklah, izinkan aku
untuk memperkenalkan kepada kalian sebuah kampung kecil yang bernama Yomakan.
Kampung
Yomakan merupakan salah satu kampung yang ada di Distrik Rumberpoon, Kabupaten
Teluk Wondama. Kampung ini tak begitu besar, hanya terdiri dari sekitar 65
rumah tangga. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah sebagai nelayan.
Tapi jangan bayangkan seperti nelayan-nelayan di pada umumnya yang mencari
ikannya dengan cara menyebarkan jaring ataupun pukat. Disini mereka mencari
ikan hanya dengan bermodalkan pancing tau panah ataupun tombak ikan. Yups, cara
mereka menangkap ikan masih sangat tradisional. Disini menangkap ikan dengan
jaring masih dilarang.
Untuk
urusan jaringan komunikasi, jangan tanya perihal sinyal selular di sini. Tak
ada sebatang sinyalpun muncul di layar HP. Tak ada HP, radio, bahkan hanya satu
dua rumah saja yang mempunyai televise. Misalkan dunia sedang dilanda huru-hara
akibat dari Amerika melakukan agresi militer ke Korea Utara, kampung ini tetap
santai-santai aja karena tak tau berita itu.
Sebelas
dua belas dengan jaringan sinyal selular. Listrik masih menjadi sesuatu yang
sangat mewah di kampung ini. Tak ada jaringan listrik PLN. Meskipun beberapa
tahun silam pemerintah setempat telah membagi-bagikan solar panel ke setiap
rumah, seiring berjalannya waktu dan minimnya pengetahuan tenang perawatan
ala-alat tersebut, alat-alat itu sekarang sudah sekarat, teronggok di pojokan
rumah-rumah warga, hanya di beberapa rumah saja yang alatnya masih berfungsi
secara maksimal.
Okey…
Cukup segini dulu ya kilas Kampung Yomakannya hehehe. Kita lanjuatkan ke cerita
perjalananku yang sungguh luar biasa.
---
0 0 ---
Kondisi Jalan Rabat di Yomakan |
Kalo
gak ada halangan dan rintangan, hidup seakan-akan tidak seru. Begitupula kalau
saat turun lapangan gak ada halang rintangnya. Matahari tepat diatas ubun-ubun
kepalaku. Panas menyengat tiap millimeter dari kulitku yang tak tertutup.
Tiba-tiba ada orang teriak-teriak meanggilku dan om Yul yang ketika itu lagi
perjalanan menuju rumah responden. Tanpa ba-bi-bu tangan kami langsung
dicekalnya dan kami dibawa ke sebuah rumah. Dari bau-baunya aku sudah
mendeteksi bahwa dia masih dibawah kendali alkohol.
“Aduuuh,
malas kali berurusan dengan orang mabuk.” Gumamku dalam hati.
Ternyata
setelah berbincang alot, ternyata ada salah sangka. Dia menganggap kami tim
sukses salah satu paslon Cagub/Cawagub. Dia baru saja tiba di kampung pagi
harinya setelah mendapatkan pembekalan sebagai panita pemilu Kampung Yomakan.
Akhirnya setelah semuanya jelas, kamipun dipersilakan untuk melanjutkan tugas
kami, menyacah lagi dan lagi.
Hari
kedua berlalu dengan begitu cepat. Tak terasa matahari sudah berada di ufuk
barat. Badan terasa capek dan mulai merindukan empuknya kasur. Seharian penuh
kami habiskan untuk mencacah responden SAKERNAS. Dihari tersebut kami mampu
mendapatkan 7 responden, Sungguh perjuangan yang tak ringan, namun memberikan
banyak pengalaman.
Kondisi salah satu rumah di Kampung Yomakan |
Pencacahan ditemani Anak-Anak Sekolah |
Sungguh
romantis suasana sore di Yomakan. Suara deburan ombak, langit keemasan yang dihiasi
rombongan burung-burung yang terbang membentuk formasi, dan kedamaian merasuk
ke hati dan pikiranku. Ahh, indah sekali. Jika boleh lebay, aku pengen
menikmati senja itu bersama kamu. Iya cuma kita berdua. Tak ada yang
mengganggu. Jauh dari keramaian. Ahhh, sudahlah. Jangan bahas hal yang seperti
itu, masih kecil :p
Malam
menjelang. Jalan rabat (beton) satu-satunya di Kampung Yomakan sudah mulai
sepi. Tak ada aktivitas masyarakat di malam hari. Semua pintu-pintu rumah rapat
tertutup, takut sang Suanggi masuk ke rumah mereka. Suanggi merupakan salah
satu jenis hantu yang sangat di takuti oleh masyarakat Papua. Ditakuti bukan
karena wujudnya yang mengerikan seperti pocong ataupun genderuwo seperti yang
ada di Jawa., Suanggi lebih ditakuti karena kekuatan mistis yang dibawanya.
Konon, dibalik sosok Suanggi ada seseorang yang mengendalikannya. Suanggi
biasanya digunakan untuk urusan balas dendam. Kekuatan mistis yang dimilikinya
pun tak tanggung-tangguna, selevel dengan santet. Suanggi bisa membunuh targetnya
dengan berbagai cara, termasuk mencabik-cabik si target tanpa belas kasihan.
Sungguh mengerikan.
Hari
ke tiga di kampung Yomakan kami habiskan dengan menyelesaikan pencacahan,
memburu tiga responden yang kemaren tak dapat kami temui. Akhirnya ketika matahari tepat berada diatas
ubun-ubun, pekerjaan kami selesai. Sungguh lega rasanya. Dan yang paling
penting, Manokwari I’m coming!!!
Kondisi rumah-rumah di Kampung Yomakan |
Tepat
pukul 13.30, kami berpamitan dan mengucapkan banyak terimakasih kepada warga
kampung Yomakan atas sambutann hangat
dan kerjasamnya. Dengan menggunakan perahu long boat milik kampung, kami
diantar menuju Gunung Botak. Di gunung Botak situlah kami dapat melanjutkan
perjalanan ke manokwari dengan jalur darat.