Selamat Datang! |
Siapa sih yang gak tau Raja Ampat? Pastinya kalian taulah ya dengan ikon wisata Papua Barat yang terkenal dengan Piyanemonya itu. Namun, sebelum tahun 2010, siapa sih yang tau Raja Ampat? Saya yakin hanya segelintir orang yang tau tentang kekayaan bahari Raja Ampat.
Titik
balik dari dunia pariwisata Raja Ampat adalah tatkala kabupaten ini sukses
menyelenggarakan event Festival Raja
Ampat yang pertama pada tahun 2010. Setelah itu, nama Raja Ampat menjadi terkenal
dan terekspose hingga keluar negeri. Tak heran jika sekarang ini Raja Ampat
menjadi booklist para wisatawan mancanegara.
Sekarang
saya mau tanya ke kalian. Adakah dari kalian yang pernah mendengar Pulau Roon? Saya
yakin kalian pasti gak ada yang pernah mendengar kan? Yaaa, wajar aja sih. Kan pulau
ini hanyalah pulau kecil di Kabupaten Teluk Wondama. Namun, pulau ini menyipan
segudang potensi pariwisata yang tak kalah dengan Raja Ampat. Untuk
mengenalkannya ke masyarakat luas, pemerintah setempat mengadakan event Festival Pulau Roon yang tahun ini
merupakan yang kedua kalinya. Memang festival ini tak sebesar dan semeriah
Festival Raja Ampat. Tapi, pesona yang disuguhkan Pulau Roon saya jamin tidak
kalah menawan.
Perlu
perjuangan yang cukup besar untuk mencapai pulau ini. Jika kalian berangkat
dari Jakarta, setidaknya memerlukan waktu sekitar 18 jam perjalanan udara dan
laut. Itupun jika kalian memilih hari perjalanan yang pas dengan jadwal kapal
Manokwari-Wasior. Jika kalian salah pilih hari, mau tidak mau kalian harus
menginap dulu di Manokwari sambil menunggu jadwal kapal yang akan berangkat
menuju Wasior, Kabupaten Teuk Wondama. So,
sebelum kalian plesiran ke Festival Pulau Roon tahun depan, alangkah baiknya kalian
terlebih dahulu melihat jadwal kapal dari Manokwari menuju Wasior, agar kalian
tidak perlu menginap di Manokwari hanya untuk menunggu jadwal kapal.
Festival
Pulau Roon yang ke dua diselenggarakan pada tanggal 24-27 Juli 2019 yang
terpusat di kawasan Pantai Wasasar, Kampung Mena, Distrik Roon. Untuk dapat
mengikuti acara Festival ini, ada tiga pilihan paket yang disediakan oleh
panitia, yaitu:
· Paket
I dengan harga 800.000. Adapun fasilitas yang akan anda dapatkan meliputi
homestay di area Pantai Wasasar, trip menuju Pulau Matas dan Ular Seremi, makan
sepuasnya (disediakan dapur umum), serta beberapa cenderamata.
· Paket
II dengan harga 500.000. Adapun fasilitas yang didapatkan adalah homestay di
kampung Niab, trip disekitar Pulau Roon (Munamberi, Gereja Tua, dan batu doa
Biak), makan sepuasnya, kaos dan botol minum.
· Paket
III dengan harga 300.000. Untuk yang ini saya tidak begitu tau fasilitas apa
saja yang didapatkan. Paling cuma makan gratis sama kaos dan botol minum hahaha.
Adapun
jadwal susunan acara selama perhelatan Festival Roon bisa kalian lihat di
poster berikut.
Karena
saya masih harus masuk kantor pada hari rabu, tanggal 24 Juli, saya dan
beberapa teman kantor memutuskan untuk berangkat menuju Festival Pulau Roon
pada hari kamis. Toh juga pada hari rabunya tidak ada acara besar yang menarik
karena festival ini baru dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati pada kamis pagi.
Kamis,
25 Juli 2019, pukul 07.30 kami sudah berada di pelabuhan Kuri Pasai, Wasior, untuk
bersiap menuju ke Pulau Roon. Ketika itu, panitia dan pemerintah kabupaten Teluk
Wondama menyediakan fasilitas transportasi berupa kapal penyeberangan utuk
mengangkut masyarakat Wasior yang ingin mengikuti festival Pulau Roon.
Dibutuhkan sekitar 1 jam 15 menit perjalanan laut untuk menuju Kampung Yende
(Ibukota Distrik Roon). Kenapa harus singgah dulu di Kampung Yende? Kok gak
langsung ke Pantai Wasasar saja? Kan acaranya ada di Pantai Wasasar! Ya karena
di Wasasar gak ada dermaga yang bisa buat bersandar kapal ukuran 30 x 8 meter. Di
sana cuma ada dermaga kayu yang hanya bisa ditambati perahu-perahu kecil saja.
Ketika
kami tiba di Kampung Yende, kami disambut dengan tarian penyambutan tamu khas
masyarakat Pulau Roon. Alunan musik tradisional berupa tifa dan seruling
semakin membawa kami hanyut ke dalam nuansa budaya mereka. Tua, muda, hingga
anak-anak semuanya antusias ikut memeriahkan gelaran akbar ini yang saya yakin
jika event ini diselenggarakan setiap tahunnya, kelak akan mendongkrak value Pulau Roon.
Perahu tradisional khas masyarakat Pulau Roon |
Ingat
ya, lokasi utama Festival Pulau Roon 2019 bukan di Kampung Yende, melainkan di
Pantai Wasasar, Kampung Mena. Dari Kampung Yende, kami masih harus menaiki
perahu kecil untuk menuju kesana. Tapi tenang saja, panitia telah menyediakan
kebutuhan transportasi bagi para peserta kok. Masyarakat di sini juga dengan
senang hati mengantar kita untuk mobilisasi ke sekitar lokasi (Kampung Yende,
Pantai Wasasar, Kampung Niab).
Homestay di Pantai Wasasar |
Homestay di sepanjang Pantai Wasasar |
Hanya
butuh waktu perjalanan sekitar 10 menit untuk menuju Pantai Wasasar. Dari
kejauhan, terlihan homestay-homestay
tradisional berjejer rapi ditepi pantai. Umbul-umbul dengan tulisan baik Bahasa
lokal, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris meanmbah kesan meriah festival
tahunan ini. Sebuah panggung utama terlihat megah berdiri simetris ditengah
garis pantai dengan dikelilingi oleh bangku-bangku penonton. Persis seperti
arena pertunjukan tari Barong yang ada di Bali.
Setibanya
kami di Pantai Wasasar, kembali kami disambut tarian tradisional. Tetapi, kali
ini tariannya lebih brutal. Sekawanan laki-laki
dengan badan dilumuri cat hitam, dengan membawa parang dan panah mereka berteriak-teriak
seakan mau membunuh kami. Menyeramkan!
Tari Perang |
Ternyata
kebrutalan mereka ketika menyambut kami merupakan bagian dari serangkaian tari
penyambutan yang biasa disebut Tari Perang. Tarian ini menceritakan tentang
kondisi masyarakat Roon sebelum seorang pendeta dengan membawa ajaran Injil
masuk ke wilayah mereka. Kondisi masyarakat ketika itu masih sangat primitif. Perang
saudara seakan menjadi rutinitas bagi mereka. Tak jarang nyawa menjadi
taruhannya. Dan tentu saja nyawa harus dibalas dengan nyawa! Sehingga rantai
dendam turun temurun dari generasi ke generasi yang membuat mereka tak pernah
hidup damai.
Berpuluh-puluh
tahun mereka hidup dengan tradisi primitif, tidak ada agama, tidak ada aturan,
hanya ada siapa yang kuat, dia yang menang. Seiring berjalannya waktu, tradisi
primitif tersebut mulai menghilang. Titik baliknya adalah tatkala ada seorang
pendeta yang datang ke Pulau Roon dengan membawa ajaran Injil. Beliau berdakwah
ditengah masyarakat meskipun kondisi masyarakat ketika itu bebal dengan nilai
agama. Dengan jerih payah sang pendeta, sedikit demi sedikit masyarakat Pulau
Roon mulai tercerahkan. Namun, ada kelompok masyarakat yang terang-terangan
menolak ajaran tersebut. Intimidasi terhadap pendeta terjadi setiap harinya.
Hingga suatu waktu, ketika terjadi perang besar antara dua suku besar di Pulau
Roon, seorang anak dari salah satu suku terbunuh. Duka pilu menyelimuti
keluarga korban. Ingat, nyawa harus dibayar dengan nyawa! Rantai dendampun
terus berlanjut. Namun, disitulah sang pendeta mengajarkan kepada masyarakat
yang bertikai tersebut arti tentang sebuah perdamaian. Akhirnya, karena usaha yang
tak mengenal putus asa dari sang pendeta tersebut, kedua suku besar yang sudah
saling bermusuhan dari generasi ke generasi tersebut akhinya berdamai.
Pantai
Wasasar yang biasanya sepi, sekarang berubah menjadi ramai. Sekitar seribuan
orang yang datang dari berbagai daerah mulai dari Jakarta, Manokwari, maupun
sekitaran Distrik Roon tumpah ruah di sepanjang garis pantai. Terlihat beberapa
stand menjajakan makanan ataupun
kerajinan tangan khas buatan masyarakat Pulau Roon. Puluhan masyarakat
berpakaian tradisional berseliweran
menunggu jadwal mereka tampil di panggung utama. Dengan senang hati mereka
melayani para wisatawan untuk berfoto ataupun mengobrol mengenai berbagai hal,
apapun itu. Tapi kalian jangan sekali-kali menanyakan tanggapan mereka mengenai
peluang Indonesia dalam menghadapi era perang dagang ya! Kasihan mereka, nanti
pusing Hehehe.
Foto bareng para penari tradisional |
Ngobrol bareng emak-emak Papua tentang nikah adat |
Matahari
telah condong ke barat. Kamipun memutuskan untuk beristirahat ke homestay. Karena paket yang 800.000
habis, kamipun terpaksa beli yang paket 500.000. Konsekuensinya adalah tempat homestay kami jauh dari main event digelar. Kami kembali harus
naik perahu untuk menuju homestay
kami yang berada di Kampung Niab. Ternyata oh ternyata, homestay kami berbeda dengan homestay
yang ada di Pantai Wasasar. Kami diinapkan di rumah-rumah warga. Dan kamipun masih
harus serumah dengan pemilik rumah, berbagi kamar.
Sebenarnya,
kami agak kecewa. Waktu itu, yang ada dipikiran kami adalah homestay yang akan kami tinggali sama
dengan yang berada di Pantai Wasasar, berupa rumah tersendiri khusus bagi para
wisatawan, Tapi ternyata reality nya kami
harus berbagi rumah dengan warga sekitar. Bukannya kami enggan untuk berbaur
dengan mereka, namun kalau kami satu rumah dengan pemilik rumah bukannya akan
membatasi kebebasan kami? Tujuan kami untuk mengikuti Festival Roon adalah
untuk bersenang-senang bersama kerabat, refreshing dari kepenatan rutinitas,
tanpa ada halangan ataupun rasa yang membatasi ekspresi kami.
Sore
itu, setelah kami meletakkan barang-barang kami sekaligus mandi dan sedikit
istirahat, kami kembali ke Pantai Wasasar. Malam nanti ada pentas seni
persembahan dari masyarakat Distrik Roon berupa tarian-tarian tradisional dan
dimeriahkan oleh penyanyi nasional Sandi Betay. Untungnya malam itu langit
bersahabat dengan kami. Meskipun berawan, hujan enggan enggan turun sebelum
acara kami selesai. Tepat pukul 22.00 WIT acara di panggung utama selesai.
Kamipun kembali ke homestay kita masing-masing.
Suasana malam hari di Pantai Wasasar |
Pentas seni |
Cerita
hari pertama belum selesai sampai di sini. Mari kita lanjutkan!
Setelah
kami sampai di homestay, kamipun
bergegas untuk bersih-bersih, cuci muka, wudhu dan tentunya buang air kecil.
Ketika itu kami bingung, kami berkeliling-keliling rumah kok gak ada kamar
mandinya. Lantas kami langsung bertanya kepada pemilik rumah, “Kamar mandi di
mana ya pak?”
Bapaknya
bukannya menjawab malah langsung keluar dari pintu belakang. Hanya dalam
hitungan detik, bapak tadi masuk ke rumah dengan membawa selang air. Ternyata
oh ternyata, di rumah ini gak ada kamar mandinya! Dengan canggung kamipun
menggosok gigi dan cuci muka di dalam rumah tanpa ada ruangan khusus. Gila bro!
gue gak bohong! Kami gosok gigi, cuci tangan dll di ruang tengah rumah. Lho,
kok bisa? Emang nanti gak becek? Ya enggak lah, rumah-rumah di sini semuanya
berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jadi, kalaupun kita mandi di
dalam rumah, airnya akan langsung terbuang keluar melalui celah-celah lantai
kayu.
Trus
kalau mau pipis gimana dong? Masa pipis disitu juga sih? Ya enggak lah. Gile lu
ndro kalo pipis juga di situ, pesing! Kalau mau pipis ataupun buang air besar,
kalian harus keluar rumah dulu, cari WC umum hahaha. Lho, jangan ketawa gitu
dong! Di sini emang desain rumahnya enggak ada kamar mandinya. So, dibangunlah beberapa toilet dan
kamar mandi umum untuk beberapa rumah tangga. Ya begitulah bro kehidupan di
Kampung Niab.
Akhirnya,
hari perta Festival selesai juga. Saatnya kami tidur. Sampai jumpa besok di
hari kedua dan ketiga ya.. BERSAMBUNG….