Jumat,
10 Februari 2017, matahari terik
menyinari hamparan bumi Teluk Wondama. Pagi itu saya sibuk mempersiapkan bekal untuk perjalanan dinas pertama saya ke salah satu pelosok Papua. Yups,
hari ini saya akan melakukan pengawasan SAKERNAS
ke Kampung
Yomakan, Distrik Rumberpon.
Distrik Rumberpon merupakan
salah satu distrik (Kecamatan) terluar di Kabupaten Teluk Wondama. Untuk
mencapai distrik ini, dibutuhkan waktu sekitar 6
jam perjalanan laut dari Ibu
Kota Kabupaten, Wasior. Fasilitas transportasi yang dapat digunakan hanyalah
dengan perahu fiber nelayan (long boat),
belum ada transportasi lain yang bisa digunakan untuk mencapai distrik ini.
Tantunya ini
akan menjadi
sebuah perjalanan yang tak ringan,
membutuhkan fisik
yang prima dan
tentunya bekal yang tak
sedikit.
Tepat Pukul
10.00 WIT, saya bersama
dengan Pak Ansar (Kepala BPS Kabupaten Teluk Wondama), om
Yulianus Krimadi
(KSK),
pemilik perahu (Kepala Sekolah
SD Yomakan), dan seorang motor race
atau pengemudi perahu motor, memulai perjalanan panjang kami. Siang itu matahari dengan
garangnya bertengger di atas kepala kami, sinarnya seolah tak memberi ampun untuk terus menyengat
setiap sisi dari badan
kami yang tak tertutup pakaian. Dengan menggunakan
perahu motor berkekuatan 15
PK, kami
membelah lautan lepas
menuju ke arah utara.
Pak Ansar (Kepala BPS Kabupaten Teluk Wondama) |
Tak banyak hal yang bisa
kami lakukan ketika kami berada di perahu. Perahu ukuran satu kali empat meter
yang dimuati oleh lima orang dewasa tak memberikan ruang gerak yang cukup
selama perjalana, hanya duduk bersila sesekali saling bergantian satu sama lain
untuk sekedar meluruskan kaki yang mulai kesemutan. Semua itu diperparah lagi
dengan kondisi perahu yang tak ada atapnya. Panas sinar matahari khas Pulau
Papua menjadi santapan wajib kami. Selama perjalanan, tak ada yang dapat kami
lakukan, kecuali tiga hal, yaitu melamun, tidur dan mengobrol. Kebetulan
pak Ansar selain berprofesi sebagai kepala BPS, beliau juga seorang pengusaha ulung di Tanah Papua.
Bisnis meubel rotannya telah menggurita. Kabupaten Nabire,
Teluk Bintuni, dan Kota Sorong tak luput dari sasaran lokasi bisnis meubelnya.
Tak mudah merintis sebuah usaha
di terutama di Tanah Papua. Berbagai macam halangan mulai dari segi regulasi
pemerintah daerah,
sumber daya manusia pendukungnya yang masih kurang, bahkan gangguan-gangguan
dari masyarakat sekitar
menjadi santapan wajib bagi seorang pengusaha.
Tetapi kalau tidak bisa mengatasi itu semua, bukan pengusaha ulung namanya. Dengan segudang pengalamannya hidup di Tanah Papua, Pak
Ansar mampu untuk menyelesaikan semua
permasalahan di atas. Sungguh, beliau memang sosok pejuang sejati. Tak
kenal menyerah dan terus berjuang untuk mendapatkan solusi terbaik.
Pelabuhan Kecil Windesi |
Jalan Panjang dari Pantai Menuju Kampung Mimisi |
Garura Kampung Mamisi |
Pantai nan Indah |
Pasir Pantai |
Perjalanan kami lanjutkan. Ku lihat jam di HPku ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIT.
“Yes!!! Itu berarti kira-kira dua jam lagi
kami sampai di Yomakan.”
Tetapi sisa perjalanan dua jam ini, ternyata
lebih berat daripada perjalanan empat jam awal kami. Tak lama setelah kami
kembali melaut, awan mendung pekat terlihat didepan kami. Rintik-rintik hujan
perlahan mulai turun terbawa angin yang bertiup kearah kami. Gelombang laut
sudah mulai tak bersahabat. Tampias air laut akibat gelombang yang bertabrakan
dengan perahu kami menyiram kami yang mulai gelisah diatas perahu.
Gerimis mulai berubah
menjadi hujan. Gelombang semakin tinggi. Badan kami basah kuyup oleh air hujan
dan air laut. Motor race memelankan
laju perahu. Waspada akan gelombang yang datang silih berganti siap untuk
menggulingkan perahu kecil kami. Disaat seperti ini, aku sadar, betapa tak
berdayanya manusia melawan kuasa alam. Muka kami semua mulai menegang. Sang
kepala sekolah, selaku ayah dari motor race berdiri di diatas perahu memberi
komando kepada sang anak agar tak kalah dengan gempuran badai di depan. Sekali
melakukan kesalahan, habis sudah!
Badai tak kunjung reda. Sang
komando memerintahkan motor race
untuk secepatnya menepi karena cuaca sudah tak terkendali lagi. Dengan sangat
hati-hati perahu mulai menuju daratan. Kami dihadapkan kepada dua pilihan
sulit, apakah mau menepi ke daratan liar atau terus melanjutkan perjalanan
meskipun cuaca masih buruk. Jika kami memilih untuk menepi ke daratan, kami
dihadapkan dengan masalah waktu. Saat itu jam menunjukkan pukul 15.00 WIT, dan
perjalanan masih jauh, masih membutuhkan sekitar satu jam setengah lagi.
“Ardi, kamu bisa berenang?”
Tanya pak Ansar denga setengah berteriak mengalahkan suara bising deru angin.
“Bisa pak. Tetapi tidak bisa
terlalu lama.”
Suasana semakin tak
terkendali. Jarak kami dengan daratan masih sekitar 200 meter. Rasanya tak
mungkin saya berenang sejauh itu ditengah ganasnya gelombang. Aku semakin
panik. Pak Ansar terus memperhatikanku seakan dia tau apa yang sedang aku
khawatirkan.
“Tenang Ardi. Kalaupun nanti
perahu ini terbalik. Kamu menjadi prioritas utama untuk saya selamatkan.”
Sebagai seorang pemuda yang
secara fisik jauh lebih segar, aku sangat malu. Ingin rasanya aku kembali ke
umur 10 tahun dimana aku bisa dengan leluasanya belajar berenang. Dulu aku
berpikiran ngak perlu jago berenang, yang penting bisa saja, biar nggak
malu-maluin. Ternyata 13 tahun setelah itu, aku baru merasakan manfaat dari
jago berenang. Disaat seperti inilah kemampuan berenang sangat diperlukan.
Sungguh orang yang sangat merugi aku ini.
Lima belas menit berlalu.
Perahu masih kuat untuk terus terapung di tengah lautan. Hujan mulai sedikit
mereda, tetapi gelombang masih ganas mengombang-ambingkan perahu kami. Di
kejauhan terlihat gugusan pulau-pulau kecil nampak kehijauan. Hanya membutuhkan
waktu sekitar 10 menit kami sampai di perairan gugusan pulau-pulau tersebut.
“Alhamdulillah kita selamat”
Bisik pak Ansar
Yups, kami sekarang tidak
langsung terhubung dengan lautan lepas. Kami berada di antara gugusan
pulau-pulau kecil. Nyaris taka da gelombang di perairan ini lantaran berada di
tengah-tengah kepungan pulau-pulau kecil. Hujan pun mulai reda. Matahari
sedikit menampakkan sinarnya pertanda ancaman badai berakhir sudah. Kami mulai
meregangkan badan kami yang sedari tadi tegang diatas kapal.
Satu jam berlalu. Di
kejauhan mata memandang, terlihan sebuah kampung yang sebagian rumahnya berada
di atas bibir pantai. Rumah-rumah panggung berderet-deret diatas bibir hingga
menjorok ke pantai. Itulah Kampung Rumberpon tujuan kami. Akhirnya setelah
kurang lebih enam jam perjalanan laut yang sangat menegangkan, kami sampai juga
di tujuan kami mekipun badan kami telah basah kuyup tersiram air hujan
bercampur air laut.
Tak mudah memang bekerja
sebagai pengumpul data di daerah, terutama di daerah-daerah terpencil. Butuh
pengorbanan dan tekad kuat untuk mendapatkan data yang akurat, terpercaya dan up to date. Banyak halangan dan
rintangan yang harus dilewati. Kadang, nyawa pun harus dipertaruhkan demi
menemui seorang responden yang harus dicacah. Oleh karena itu, hargailah jika
ada seorang petugas pencacah datang ke rumah anda. Cukup dengan memberikan
keterangan dan jawaban yang jelas, itu semua sudah cukup bagi petugas untuk
merasa bahagia.
Salam dari Indonesia Timur
*gak ada foto pas badai datang karena takut ngluarin HP
*gak ada foto pas badai datang karena takut ngluarin HP