FESTIVAL PULAU ROON, PROVINSI PAPUA BARAT TAHUN 2019 (BAGIAN 1)

August 04, 2019


Selamat Datang!

Siapa sih yang gak tau Raja Ampat? Pastinya kalian taulah ya dengan ikon wisata Papua Barat yang terkenal dengan Piyanemonya itu. Namun, sebelum tahun 2010, siapa sih yang tau Raja Ampat? Saya yakin hanya segelintir orang yang tau tentang kekayaan bahari Raja Ampat.

Titik balik dari dunia pariwisata Raja Ampat adalah tatkala kabupaten ini sukses menyelenggarakan event Festival Raja Ampat yang pertama pada tahun 2010. Setelah itu, nama Raja Ampat menjadi terkenal dan terekspose hingga keluar negeri. Tak heran jika sekarang ini Raja Ampat menjadi booklist para wisatawan mancanegara.

Sekarang saya mau tanya ke kalian. Adakah dari kalian yang pernah mendengar Pulau Roon? Saya yakin kalian pasti gak ada yang pernah mendengar kan? Yaaa, wajar aja sih. Kan pulau ini hanyalah pulau kecil di Kabupaten Teluk Wondama. Namun, pulau ini menyipan segudang potensi pariwisata yang tak kalah dengan Raja Ampat. Untuk mengenalkannya ke masyarakat luas, pemerintah setempat mengadakan event Festival Pulau Roon yang tahun ini merupakan yang kedua kalinya. Memang festival ini tak sebesar dan semeriah Festival Raja Ampat. Tapi, pesona yang disuguhkan Pulau Roon saya jamin tidak kalah menawan.

Perlu perjuangan yang cukup besar untuk mencapai pulau ini. Jika kalian berangkat dari Jakarta, setidaknya memerlukan waktu sekitar 18 jam perjalanan udara dan laut. Itupun jika kalian memilih hari perjalanan yang pas dengan jadwal kapal Manokwari-Wasior. Jika kalian salah pilih hari, mau tidak mau kalian harus menginap dulu di Manokwari sambil menunggu jadwal kapal yang akan berangkat menuju Wasior, Kabupaten Teuk Wondama. So, sebelum kalian plesiran ke Festival Pulau Roon tahun depan, alangkah baiknya kalian terlebih dahulu melihat jadwal kapal dari Manokwari menuju Wasior, agar kalian tidak perlu menginap di Manokwari hanya untuk menunggu jadwal kapal.
Festival Pulau Roon yang ke dua diselenggarakan pada tanggal 24-27 Juli 2019 yang terpusat di kawasan Pantai Wasasar, Kampung Mena, Distrik Roon. Untuk dapat mengikuti acara Festival ini, ada tiga pilihan paket yang disediakan oleh panitia, yaitu:

·       Paket I dengan harga 800.000. Adapun fasilitas yang akan anda dapatkan meliputi homestay di area Pantai Wasasar, trip menuju Pulau Matas dan Ular Seremi, makan sepuasnya (disediakan dapur umum), serta beberapa cenderamata.
·       Paket II dengan harga 500.000. Adapun fasilitas yang didapatkan adalah homestay di kampung Niab, trip disekitar Pulau Roon (Munamberi, Gereja Tua, dan batu doa Biak), makan sepuasnya, kaos dan botol minum.
·       Paket III dengan harga 300.000. Untuk yang ini saya tidak begitu tau fasilitas apa saja yang didapatkan. Paling cuma makan gratis sama kaos dan botol minum hahaha.


Adapun jadwal susunan acara selama perhelatan Festival Roon bisa kalian lihat di poster berikut.



Karena saya masih harus masuk kantor pada hari rabu, tanggal 24 Juli, saya dan beberapa teman kantor memutuskan untuk berangkat menuju Festival Pulau Roon pada hari kamis. Toh juga pada hari rabunya tidak ada acara besar yang menarik karena festival ini baru dibuka secara resmi oleh Wakil Bupati pada kamis pagi.

Kamis, 25 Juli 2019, pukul 07.30 kami sudah berada di pelabuhan Kuri Pasai, Wasior, untuk bersiap menuju ke Pulau Roon. Ketika itu, panitia dan pemerintah kabupaten Teluk Wondama menyediakan fasilitas transportasi berupa kapal penyeberangan utuk mengangkut masyarakat Wasior yang ingin mengikuti festival Pulau Roon. Dibutuhkan sekitar 1 jam 15 menit perjalanan laut untuk menuju Kampung Yende (Ibukota Distrik Roon). Kenapa harus singgah dulu di Kampung Yende? Kok gak langsung ke Pantai Wasasar saja? Kan acaranya ada di Pantai Wasasar! Ya karena di Wasasar gak ada dermaga yang bisa buat bersandar kapal ukuran 30 x 8 meter. Di sana cuma ada dermaga kayu yang hanya bisa ditambati perahu-perahu kecil saja.

Tarian penyambutan tamu

Ketika kami tiba di Kampung Yende, kami disambut dengan tarian penyambutan tamu khas masyarakat Pulau Roon. Alunan musik tradisional berupa tifa dan seruling semakin membawa kami hanyut ke dalam nuansa budaya mereka. Tua, muda, hingga anak-anak semuanya antusias ikut memeriahkan gelaran akbar ini yang saya yakin jika event ini diselenggarakan setiap tahunnya, kelak akan mendongkrak value Pulau Roon.

Perahu tradisional khas masyarakat Pulau Roon

Perahu adalah transportasi utama masyarakat Pulau Roon

Ingat ya, lokasi utama Festival Pulau Roon 2019 bukan di Kampung Yende, melainkan di Pantai Wasasar, Kampung Mena. Dari Kampung Yende, kami masih harus menaiki perahu kecil untuk menuju kesana. Tapi tenang saja, panitia telah menyediakan kebutuhan transportasi bagi para peserta kok. Masyarakat di sini juga dengan senang hati mengantar kita untuk mobilisasi ke sekitar lokasi (Kampung Yende, Pantai Wasasar, Kampung Niab).

Homestay di Pantai Wasasar

Homestay di sepanjang Pantai Wasasar

Hanya butuh waktu perjalanan sekitar 10 menit untuk menuju Pantai Wasasar. Dari kejauhan, terlihan homestay-homestay tradisional berjejer rapi ditepi pantai. Umbul-umbul dengan tulisan baik Bahasa lokal, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris meanmbah kesan meriah festival tahunan ini. Sebuah panggung utama terlihat megah berdiri simetris ditengah garis pantai dengan dikelilingi oleh bangku-bangku penonton. Persis seperti arena pertunjukan tari Barong yang ada di Bali.

Setibanya kami di Pantai Wasasar, kembali kami disambut tarian tradisional. Tetapi, kali ini tariannya lebih brutal. Sekawanan laki-laki  dengan badan dilumuri cat hitam, dengan membawa parang dan panah mereka berteriak-teriak seakan mau membunuh kami. Menyeramkan!

Tari Perang

Ternyata kebrutalan mereka ketika menyambut kami merupakan bagian dari serangkaian tari penyambutan yang biasa disebut Tari Perang. Tarian ini menceritakan tentang kondisi masyarakat Roon sebelum seorang pendeta dengan membawa ajaran Injil masuk ke wilayah mereka. Kondisi masyarakat ketika itu masih sangat primitif. Perang saudara seakan menjadi rutinitas bagi mereka. Tak jarang nyawa menjadi taruhannya. Dan tentu saja nyawa harus dibalas dengan nyawa! Sehingga rantai dendam turun temurun dari generasi ke generasi yang membuat mereka tak pernah hidup damai.

Berpuluh-puluh tahun mereka hidup dengan tradisi primitif, tidak ada agama, tidak ada aturan, hanya ada siapa yang kuat, dia yang menang. Seiring berjalannya waktu, tradisi primitif tersebut mulai menghilang. Titik baliknya adalah tatkala ada seorang pendeta yang datang ke Pulau Roon dengan membawa ajaran Injil. Beliau berdakwah ditengah masyarakat meskipun kondisi masyarakat ketika itu bebal dengan nilai agama. Dengan jerih payah sang pendeta, sedikit demi sedikit masyarakat Pulau Roon mulai tercerahkan. Namun, ada kelompok masyarakat yang terang-terangan menolak ajaran tersebut. Intimidasi terhadap pendeta terjadi setiap harinya. Hingga suatu waktu, ketika terjadi perang besar antara dua suku besar di Pulau Roon, seorang anak dari salah satu suku terbunuh. Duka pilu menyelimuti keluarga korban. Ingat, nyawa harus dibayar dengan nyawa! Rantai dendampun terus berlanjut. Namun, disitulah sang pendeta mengajarkan kepada masyarakat yang bertikai tersebut arti tentang sebuah perdamaian. Akhirnya, karena usaha yang tak mengenal putus asa dari sang pendeta tersebut, kedua suku besar yang sudah saling bermusuhan dari generasi ke generasi tersebut akhinya berdamai.

Pantai Wasasar yang biasanya sepi, sekarang berubah menjadi ramai. Sekitar seribuan orang yang datang dari berbagai daerah mulai dari Jakarta, Manokwari, maupun sekitaran Distrik Roon tumpah ruah di sepanjang garis pantai. Terlihat beberapa stand menjajakan makanan ataupun kerajinan tangan khas buatan masyarakat Pulau Roon. Puluhan masyarakat berpakaian  tradisional berseliweran menunggu jadwal mereka tampil di panggung utama. Dengan senang hati mereka melayani para wisatawan untuk berfoto ataupun mengobrol mengenai berbagai hal, apapun itu. Tapi kalian jangan sekali-kali menanyakan tanggapan mereka mengenai peluang Indonesia dalam menghadapi era perang dagang ya! Kasihan mereka, nanti pusing Hehehe.


Foto bareng para penari tradisional

Ngobrol bareng emak-emak Papua tentang nikah adat

Matahari telah condong ke barat. Kamipun memutuskan untuk beristirahat ke homestay. Karena paket yang 800.000 habis, kamipun terpaksa beli yang paket 500.000. Konsekuensinya adalah tempat homestay kami jauh dari main event digelar. Kami kembali harus naik perahu untuk menuju homestay kami yang berada di Kampung Niab. Ternyata oh ternyata, homestay kami berbeda dengan homestay yang ada di Pantai Wasasar. Kami diinapkan di rumah-rumah warga. Dan kamipun masih harus serumah dengan pemilik rumah, berbagi kamar.

Sebenarnya, kami agak kecewa. Waktu itu, yang ada dipikiran kami adalah homestay yang akan kami tinggali sama dengan yang berada di Pantai Wasasar, berupa rumah tersendiri khusus bagi para wisatawan, Tapi ternyata reality nya kami harus berbagi rumah dengan warga sekitar. Bukannya kami enggan untuk berbaur dengan mereka, namun kalau kami satu rumah dengan pemilik rumah bukannya akan membatasi kebebasan kami? Tujuan kami untuk mengikuti Festival Roon adalah untuk bersenang-senang bersama kerabat, refreshing dari kepenatan rutinitas, tanpa ada halangan ataupun rasa yang membatasi ekspresi kami.

Sore itu, setelah kami meletakkan barang-barang kami sekaligus mandi dan sedikit istirahat, kami kembali ke Pantai Wasasar. Malam nanti ada pentas seni persembahan dari masyarakat Distrik Roon berupa tarian-tarian tradisional dan dimeriahkan oleh penyanyi nasional Sandi Betay. Untungnya malam itu langit bersahabat dengan kami. Meskipun berawan, hujan enggan enggan turun sebelum acara kami selesai. Tepat pukul 22.00 WIT acara di panggung utama selesai. Kamipun kembali ke homestay kita masing-masing.

Suasana malam hari di Pantai Wasasar
Pentas seni

Cerita hari pertama belum selesai sampai di sini. Mari kita lanjutkan!

Setelah kami sampai di homestay, kamipun bergegas untuk bersih-bersih, cuci muka, wudhu dan tentunya buang air kecil. Ketika itu kami bingung, kami berkeliling-keliling rumah kok gak ada kamar mandinya. Lantas kami langsung bertanya kepada pemilik rumah, “Kamar mandi di mana ya pak?”

Bapaknya bukannya menjawab malah langsung keluar dari pintu belakang. Hanya dalam hitungan detik, bapak tadi masuk ke rumah dengan membawa selang air. Ternyata oh ternyata, di rumah ini gak ada kamar mandinya! Dengan canggung kamipun menggosok gigi dan cuci muka di dalam rumah tanpa ada ruangan khusus. Gila bro! gue gak bohong! Kami gosok gigi, cuci tangan dll di ruang tengah rumah. Lho, kok bisa? Emang nanti gak becek? Ya enggak lah, rumah-rumah di sini semuanya berupa rumah panggung yang terbuat dari kayu. Jadi, kalaupun kita mandi di dalam rumah, airnya akan langsung terbuang keluar melalui celah-celah lantai kayu.

Trus kalau mau pipis gimana dong? Masa pipis disitu juga sih? Ya enggak lah. Gile lu ndro kalo pipis juga di situ, pesing! Kalau mau pipis ataupun buang air besar, kalian harus keluar rumah dulu, cari WC umum hahaha. Lho, jangan ketawa gitu dong! Di sini emang desain rumahnya enggak ada kamar mandinya. So, dibangunlah beberapa toilet dan kamar mandi umum untuk beberapa rumah tangga. Ya begitulah bro kehidupan di Kampung Niab.

Akhirnya, hari perta Festival selesai juga. Saatnya kami tidur. Sampai jumpa besok di hari kedua dan ketiga ya.. BERSAMBUNG….





You Might Also Like

0 komentar