CATATAN PERJALANAN KE RUMBERPON (BAGIAN 2)

February 01, 2018


Senja di Yomakan
Pukul 16.00 WIT. Matahari masih enggan menampakkan keelokan wujud sempurnanya. Bersembunyi di belakang gumpalan awan mendung, tak pekat, namun mampu untuk menyembunyikan wujud agung sang mentari. Tak apalah, toh hanya dengan sinar-sinar pantulannya saja sudah mampu menghadirkan keagungan senja. 
Perahu kecil kami terus melaju, membelah lautan yang sudah mulai tenang setelah badai. Berkejaran dengan datangnya malam. Di kejauhan, nampak deretan rumah panggung berada tepat di atas bibir pantai. Geliat aktivitas penduduk kampung tersebut juga nampak jelas terlihat dari kejauhan. Sebuah kampung kecil di pinggiran pulau Rumberpon. Yaaa… itulah Kampung Yomakan. Kampung yang kami tuju.
            “Alhamdulillah, sampai juga akhirnya.”
Kondisi kampung waktu itu masih basah. Terlihat genangan-genangan air  masih ada di mana-mana. Pohon-pohon masih terus meneteskan dinginnya air sisa hujan tadi. Akan tetapi kondisi tersebut tak menyurutkan semangat warga untuk tetap beraktivitas sore. Para pemuda desa menghabiskan waktu senjanya dengan berolahraga voli di lapangan depan gereja. Anak-anak asik kejar-kejaran kesana kemari. Seperti biasa, anak yang paling kecil selalu yang suruh untuk mengejar anak-anak yang lebih senior. Dan itupun berlaku dari awal hingga akhir. Itulah hukum permainan anak-anak, yang kecil yang terbully. Sedangkan para ibu-ibu sibuk merumpi segala sesuatu yang bisa dirumpikan.
Rumah yang pertama kali kami tuju setelah tiba di Kampung Yomakan adalah kediaman bapak kepala kampung. Layaknya sebagai tamu-tamu normal lainnya, kami harus meminta izin sekaligus menginformasikan tujuan kami berada dikampung ini kepada segenap aparat kampung. Menyampaikan maksut dan tujuan kami datang ke kampung ini merupakan hal mutlak yang harus dilakukan agar tidak menimbulkan kecurigaan dari warga kampung. Maklum, hari itu tepat seminggu sebelum pilkada Provinsi Papua Barat, jadi kampung-kampung harus waspada terhadap potensi-potensi kampanye gelap dikala minggu tenang.
 
Kediaman Kepala Kampung Yomakan
Setelah proses perijinan selesai, kami langsung menuju rumah yang biasanya dijadikan tempat menginap para petugas BPS. Yups, di mana lagi kalau bukan di kios milik orang Buton. Kesamaan keyakinanlah yang menjadi pertimbangan utama kami dalam hal memilih tempat menginap ketika berada di kampung-kampung. Kami bisa lebih leluasa untuk melakukan ibadah dan tak ragu untuk mnyantap makanan yang mereka hidangkan, karena label halal Insya Allah tertempel di setiap makanan yang mereka hidangkan hehehe. 
Namun sungguh sial, rumah yang biasanya biasanya ditumpangi para pegawai BPS baru saja terkena musibah. Beberapa hari yang lalu si jago merah tanpa ampun melahap rumah semi permanen yang mereka ditinggali. Tak ada sisa sedikitpun walaupun itu hanya selembar papan kayu saja. Sungguh malang nasib keluarga Buton satu ini.
Dengan mempertimbangkan segala aspek, akhirnya kami memutuskan untuk menginap di rumah bapak Kepala RT 1. Bapak Kepala RT 1 ini memiliki nama belakang Labobar, tentunya dia bukan orang Papua dong… Yups, beliau adalah orang asli Maluku. Namun sudah berpuluh-puluh tahun merantau meninggalkan kampung halamannya dan terdampar di Kampung Yomakan. Beliaupun menemukan jodohnya di kampung ini juga.
Malam telah tiba. Saatnya untuk beristirahat. Malam itu hujan deras yang disertai angina kencang mengguyur kampung kecil ini. Terdengar jelas deburan ombak air laut tepat dibawah rumah panggung menjadi aluran pengantar tidur yang tentunya memberikan nuansa mencekam. Bagaimana kalau rumah panggung ini tiba-tiba roboh tersapu ombak? Tapi rasa was-was tersebut tak mampu untuk meredam rasa kantuk dan capek yang aku rasakan. Akhirnya Good Night :D
--- 0 0 ---
Matahari mulai merangkak-rangkak naik diatas bukit tepat dibelakang kampung. Sinar kuning mulai menyinari hamparan bumi Papua Barat dengan energy semangat paginya. Berbagai aktivitas di kampung mulai terlihat, terutama anak-anak yang bersiap-siap untuk pergi kesekolah. Anak-anak kecil usia SD terlihat semangat untuk menuntut ilmu meskipun dengan perlengkapan yang seadanya. Jangan tanya tentang warna-warni seragam sekolah seperti yang sering kita lihat di kota-kota besar. Jangan tanyakan sepatu merek apa yang mereka pakai. Jangan pula tanya berapa uang saku yang mereka bawa. Hanya bermodal seragam merah putih yang sudah lusuh (meskipun waktu itu hari sabtu, mereka tetap pakai sragam merah putih, mungkin karena itu sragam satu-satunya yang mereka punya), mereka semangat pergi ke sekolah. 
Akan tetapi, fasilitas pendidikan yang ada di kampung ini hanyalah sebuah Sekolah Dasar dengan fasilitas yang seadanya. Tenaga pengajarnya pun sangat minim. Ada beberapa nama guru pegawai negeri di papan daftar tenaga pengajar. Namun keberadaan guru-guru ini tak selalu ada di sekolah. Mereka lebih senang untuk bermukim di kota dan hanya sesekali kembali ke kampung ini. Hanya beberapa honorer yang terlihat tinggal di lingkungan sekolah.
Kondisi Ruang Kelas SD Yomakan
Melihat semangat mereka untuk menuntut ilmu membuat diriku semakin terlecut untuk terus dan terus belajar. Mereka yang dengan segudang kekurangan saja tetap semangat untuk menuntut ilmu. Sungguh merugi jika aku tak mampu memanfaatkan fasilitas dan kesempatan yang lebih luas dari mereka untuk terus menuntut ilmu.
Dihari kedua aku berada di Yomakan, aku merasa lebih mengenal kampung ini, bagaimana masyarakatnya, kondisi ekonomi, dan masih banyak lagi. Baiklah, izinkan aku untuk memperkenalkan kepada kalian sebuah kampung kecil yang bernama Yomakan.
Kampung Yomakan merupakan salah satu kampung yang ada di Distrik Rumberpoon, Kabupaten Teluk Wondama. Kampung ini tak begitu besar, hanya terdiri dari sekitar 65 rumah tangga. Sebagian besar mata pencaharian mereka adalah sebagai nelayan. Tapi jangan bayangkan seperti nelayan-nelayan di pada umumnya yang mencari ikannya dengan cara menyebarkan jaring ataupun pukat. Disini mereka mencari ikan hanya dengan bermodalkan pancing tau panah ataupun tombak ikan. Yups, cara mereka menangkap ikan masih sangat tradisional. Disini menangkap ikan dengan jaring masih dilarang.
Untuk urusan jaringan komunikasi, jangan tanya perihal sinyal selular di sini. Tak ada sebatang sinyalpun muncul di layar HP. Tak ada HP, radio, bahkan hanya satu dua rumah saja yang mempunyai televise. Misalkan dunia sedang dilanda huru-hara akibat dari Amerika melakukan agresi militer ke Korea Utara, kampung ini tetap santai-santai aja karena tak tau berita itu.
Sebelas dua belas dengan jaringan sinyal selular. Listrik masih menjadi sesuatu yang sangat mewah di kampung ini. Tak ada jaringan listrik PLN. Meskipun beberapa tahun silam pemerintah setempat telah membagi-bagikan solar panel ke setiap rumah, seiring berjalannya waktu dan minimnya pengetahuan tenang perawatan ala-alat tersebut, alat-alat itu sekarang sudah sekarat, teronggok di pojokan rumah-rumah warga, hanya di beberapa rumah saja yang alatnya masih berfungsi secara maksimal.
Okey… Cukup segini dulu ya kilas Kampung Yomakannya hehehe. Kita lanjuatkan ke cerita perjalananku yang sungguh luar biasa.
--- 0 0 ---
Kondisi Jalan Rabat di Yomakan

Kalo gak ada halangan dan rintangan, hidup seakan-akan tidak seru. Begitupula kalau saat turun lapangan gak ada halang rintangnya. Matahari tepat diatas ubun-ubun kepalaku. Panas menyengat tiap millimeter dari kulitku yang tak tertutup. Tiba-tiba ada orang teriak-teriak meanggilku dan om Yul yang ketika itu lagi perjalanan menuju rumah responden. Tanpa ba-bi-bu tangan kami langsung dicekalnya dan kami dibawa ke sebuah rumah. Dari bau-baunya aku sudah mendeteksi bahwa dia masih dibawah kendali alkohol. 
“Aduuuh, malas kali berurusan dengan orang mabuk.” Gumamku dalam hati.
Ternyata setelah berbincang alot, ternyata ada salah sangka. Dia menganggap kami tim sukses salah satu paslon Cagub/Cawagub. Dia baru saja tiba di kampung pagi harinya setelah mendapatkan pembekalan sebagai panita pemilu Kampung Yomakan. Akhirnya setelah semuanya jelas, kamipun dipersilakan untuk melanjutkan tugas kami, menyacah lagi dan lagi.  
Hari kedua berlalu dengan begitu cepat. Tak terasa matahari sudah berada di ufuk barat. Badan terasa capek dan mulai merindukan empuknya kasur. Seharian penuh kami habiskan untuk mencacah responden SAKERNAS. Dihari tersebut kami mampu mendapatkan 7 responden, Sungguh perjuangan yang tak ringan, namun memberikan banyak pengalaman. 

Kondisi salah satu rumah di Kampung Yomakan

Pencacahan ditemani Anak-Anak Sekolah
Sungguh romantis suasana sore di Yomakan. Suara deburan ombak, langit keemasan yang dihiasi rombongan burung-burung yang terbang membentuk formasi, dan kedamaian merasuk ke hati dan pikiranku. Ahh, indah sekali. Jika boleh lebay, aku pengen menikmati senja itu bersama kamu. Iya cuma kita berdua. Tak ada yang mengganggu. Jauh dari keramaian. Ahhh, sudahlah. Jangan bahas hal yang seperti itu, masih kecil :p
Malam menjelang. Jalan rabat (beton) satu-satunya di Kampung Yomakan sudah mulai sepi. Tak ada aktivitas masyarakat di malam hari. Semua pintu-pintu rumah rapat tertutup, takut sang Suanggi masuk ke rumah mereka. Suanggi merupakan salah satu jenis hantu yang sangat di takuti oleh masyarakat Papua. Ditakuti bukan karena wujudnya yang mengerikan seperti pocong ataupun genderuwo seperti yang ada di Jawa., Suanggi lebih ditakuti karena kekuatan mistis yang dibawanya. Konon, dibalik sosok Suanggi ada seseorang yang mengendalikannya. Suanggi biasanya digunakan untuk urusan balas dendam. Kekuatan mistis yang dimilikinya pun tak tanggung-tangguna, selevel dengan santet. Suanggi bisa membunuh targetnya dengan berbagai cara, termasuk mencabik-cabik si target tanpa belas kasihan. Sungguh mengerikan.
Hari ke tiga di kampung Yomakan kami habiskan dengan menyelesaikan pencacahan, memburu tiga responden yang kemaren tak dapat kami temui.  Akhirnya ketika matahari tepat berada diatas ubun-ubun, pekerjaan kami selesai. Sungguh lega rasanya. Dan yang paling penting, Manokwari I’m coming!!!
Kondisi rumah-rumah di Kampung Yomakan
Tepat pukul 13.30, kami berpamitan dan mengucapkan banyak terimakasih kepada warga kampung Yomakan  atas sambutann hangat dan kerjasamnya. Dengan menggunakan perahu long boat milik kampung, kami diantar menuju Gunung Botak. Di gunung Botak situlah kami dapat melanjutkan perjalanan ke manokwari dengan jalur darat.

You Might Also Like

0 komentar