CATATAN PERJALANAN KE RUMBERPON (BAGIAN 1)

October 30, 2017

Jumat, 10 Februari 2017, matahari terik menyinari hamparan bumi Teluk Wondama. Pagi itu saya sibuk mempersiapkan bekal untuk perjalanan dinas pertama saya ke salah satu pelosok Papua. Yups, hari ini saya akan melakukan pengawasan SAKERNAS ke Kampung Yomakan, Distrik Rumberpon. Distrik Rumberpon merupakan salah satu distrik (Kecamatan) terluar di Kabupaten Teluk Wondama. Untuk mencapai distrik ini, dibutuhkan waktu sekitar 6 jam perjalanan laut dari Ibu Kota Kabupaten, Wasior. Fasilitas transportasi yang dapat digunakan hanyalah dengan perahu fiber nelayan (long boat), belum ada transportasi lain yang bisa digunakan untuk mencapai distrik ini. Tantunya ini akan menjadi sebuah perjalanan yang tak ringan, membutuhkan fisik yang prima dan tentunya bekal yang tak sedikit.
Tepat Pukul 10.00 WIT, saya bersama dengan Pak Ansar (Kepala BPS Kabupaten Teluk Wondama), om Yulianus Krimadi (KSK), pemilik perahu (Kepala Sekolah SD Yomakan), dan seorang motor race atau pengemudi perahu motor, memulai perjalanan panjang kami. Siang itu matahari dengan garangnya bertengger di atas kepala kami, sinarnya seolah tak memberi ampun untuk terus menyengat setiap sisi dari badan kami yang tak tertutup pakaian. Dengan menggunakan perahu motor berkekuatan 15 PK, kami membelah lautan lepas menuju ke arah utara.

Pak Ansar (Kepala BPS Kabupaten Teluk Wondama)

Tak banyak hal yang bisa kami lakukan ketika kami berada di perahu. Perahu ukuran satu kali empat meter yang dimuati oleh lima orang dewasa tak memberikan ruang gerak yang cukup selama perjalana, hanya duduk bersila sesekali saling bergantian satu sama lain untuk sekedar meluruskan kaki yang mulai kesemutan. Semua itu diperparah lagi dengan kondisi perahu yang tak ada atapnya. Panas sinar matahari khas Pulau Papua menjadi santapan wajib kami. Selama perjalanan, tak ada yang dapat kami lakukan, kecuali tiga hal, yaitu melamun, tidur dan mengobrol. Kebetulan pak Ansar selain berprofesi sebagai kepala BPS, beliau juga seorang pengusaha ulung di Tanah Papua. Bisnis meubel rotannya telah menggurita. Kabupaten Nabire, Teluk Bintuni, dan Kota Sorong tak luput dari sasaran lokasi bisnis meubelnya. Tak mudah merintis sebuah usaha di terutama di Tanah Papua. Berbagai macam halangan mulai dari segi regulasi pemerintah daerah, sumber daya manusia pendukungnya yang masih kurang, bahkan gangguan-gangguan dari masyarakat sekitar menjadi santapan wajib bagi seorang pengusaha. Tetapi kalau tidak bisa mengatasi itu semua, bukan pengusaha ulung namanya. Dengan segudang pengalamannya hidup di Tanah Papua, Pak Ansar mampu untuk menyelesaikan semua permasalahan di atas. Sungguh, beliau memang sosok pejuang sejati. Tak kenal menyerah dan terus berjuang untuk mendapatkan solusi terbaik.

Pelabuhan Kecil Windesi
            3 jam berlalu, akhirnya kami tiba di persinggahan pertama kami, yaitu di Distrik Windesi. Di sini rencananya kami mau membeli BBM sekaligus istirahat sebentar sekedar meregangkan otot-otot tubuh yang selama 3 jam terakhir hanya duduk mematung di atas perahu. Akan tetapi BBM yang kami cari tidak tersedia di daerah ini, stok BBM sudah habis. Waduuh, motor race dan om Yulkrim berfikir keras untuk menemukan solusi terbaik agar bisa secepatnya mendapatkan BBM karena stok BBM di dalam tangki motor juga sudah menipis.

Jalan Panjang dari Pantai Menuju Kampung Mimisi
Garura Kampung Mamisi
Akhirnya kami memutuskan untuk mencari BBM ke kampung sebelah sambil berharap-harap cemas semoga ada stok BBM tersisa di kampung tersebut. Hanya perlu 30 menit bagi kami untuk mencapai kampung Mamisi yang secara administratif telah masuk Distrik Nikiwar. Tepat di jalan masuk menuju kampung Mamisi, terbentang hamparan pasir putih yang masih perawan. Pantainya tak terlalu luas, tetapi luar biasa indah. Taka da sampah berserakan. Hanya ada keindahan dan kehangatan.


Pantai nan Indah

Pasir Pantai


Perjalanan kami lanjutkan. Ku lihat jam di HPku ternyata waktu sudah menunjukkan pukul 14.00 WIT.
 “Yes!!! Itu berarti kira-kira dua jam lagi kami sampai di Yomakan.”
 Tetapi sisa perjalanan dua jam ini, ternyata lebih berat daripada perjalanan empat jam awal kami. Tak lama setelah kami kembali melaut, awan mendung pekat terlihat didepan kami. Rintik-rintik hujan perlahan mulai turun terbawa angin yang bertiup kearah kami. Gelombang laut sudah mulai tak bersahabat. Tampias air laut akibat gelombang yang bertabrakan dengan perahu kami menyiram kami yang mulai gelisah diatas perahu.
Gerimis mulai berubah menjadi hujan. Gelombang semakin tinggi. Badan kami basah kuyup oleh air hujan dan air laut. Motor race memelankan laju perahu. Waspada akan gelombang yang datang silih berganti siap untuk menggulingkan perahu kecil kami. Disaat seperti ini, aku sadar, betapa tak berdayanya manusia melawan kuasa alam. Muka kami semua mulai menegang. Sang kepala sekolah, selaku ayah dari motor race berdiri di diatas perahu memberi komando kepada sang anak agar tak kalah dengan gempuran badai di depan. Sekali melakukan kesalahan, habis sudah!
Badai tak kunjung reda. Sang komando memerintahkan motor race untuk secepatnya menepi karena cuaca sudah tak terkendali lagi. Dengan sangat hati-hati perahu mulai menuju daratan. Kami dihadapkan kepada dua pilihan sulit, apakah mau menepi ke daratan liar atau terus melanjutkan perjalanan meskipun cuaca masih buruk. Jika kami memilih untuk menepi ke daratan, kami dihadapkan dengan masalah waktu. Saat itu jam menunjukkan pukul 15.00 WIT, dan perjalanan masih jauh, masih membutuhkan sekitar satu jam setengah lagi.
“Ardi, kamu bisa berenang?” Tanya pak Ansar denga setengah berteriak mengalahkan suara bising deru angin.
“Bisa pak. Tetapi tidak bisa terlalu lama.”
Suasana semakin tak terkendali. Jarak kami dengan daratan masih sekitar 200 meter. Rasanya tak mungkin saya berenang sejauh itu ditengah ganasnya gelombang. Aku semakin panik. Pak Ansar terus memperhatikanku seakan dia tau apa yang sedang aku khawatirkan.
“Tenang Ardi. Kalaupun nanti perahu ini terbalik. Kamu menjadi prioritas utama untuk saya selamatkan.”
Sebagai seorang pemuda yang secara fisik jauh lebih segar, aku sangat malu. Ingin rasanya aku kembali ke umur 10 tahun dimana aku bisa dengan leluasanya belajar berenang. Dulu aku berpikiran ngak perlu jago berenang, yang penting bisa saja, biar nggak malu-maluin. Ternyata 13 tahun setelah itu, aku baru merasakan manfaat dari jago berenang. Disaat seperti inilah kemampuan berenang sangat diperlukan. Sungguh orang yang sangat merugi aku ini.
Lima belas menit berlalu. Perahu masih kuat untuk terus terapung di tengah lautan. Hujan mulai sedikit mereda, tetapi gelombang masih ganas mengombang-ambingkan perahu kami. Di kejauhan terlihat gugusan pulau-pulau kecil nampak kehijauan. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10 menit kami sampai di perairan gugusan pulau-pulau tersebut.
“Alhamdulillah kita selamat” Bisik pak Ansar
Yups, kami sekarang tidak langsung terhubung dengan lautan lepas. Kami berada di antara gugusan pulau-pulau kecil. Nyaris taka da gelombang di perairan ini lantaran berada di tengah-tengah kepungan pulau-pulau kecil. Hujan pun mulai reda. Matahari sedikit menampakkan sinarnya pertanda ancaman badai berakhir sudah. Kami mulai meregangkan badan kami yang sedari tadi tegang diatas kapal.
Satu jam berlalu. Di kejauhan mata memandang, terlihan sebuah kampung yang sebagian rumahnya berada di atas bibir pantai. Rumah-rumah panggung berderet-deret diatas bibir hingga menjorok ke pantai. Itulah Kampung Rumberpon tujuan kami. Akhirnya setelah kurang lebih enam jam perjalanan laut yang sangat menegangkan, kami sampai juga di tujuan kami mekipun badan kami telah basah kuyup tersiram air hujan bercampur air laut.
Tak mudah memang bekerja sebagai pengumpul data di daerah, terutama di daerah-daerah terpencil. Butuh pengorbanan dan tekad kuat untuk mendapatkan data yang akurat, terpercaya dan up to date. Banyak halangan dan rintangan yang harus dilewati. Kadang, nyawa pun harus dipertaruhkan demi menemui seorang responden yang harus dicacah. Oleh karena itu, hargailah jika ada seorang petugas pencacah datang ke rumah anda. Cukup dengan memberikan keterangan dan jawaban yang jelas, itu semua sudah cukup bagi petugas untuk merasa bahagia.

Salam dari Indonesia Timur

*gak ada foto pas badai datang karena takut ngluarin HP

You Might Also Like

0 komentar