CATATAN PERJALANAN GUNUNG PANGRANGO

June 04, 2013


Tugu Puncak Pangrango 3019 mdpl
Persahabatan. Renungan. Kerjasama. Kekompakan. Tanggung Jawab. Semua itu merupakan bumbu essensial bagi para pendaki gunung.
Jumat, 10 Mei 2013 pukul 05.30 pagi buta, Ardi (saya), Ayub, Haidir, Muiz, Ayu, dan Silli terlihat gagah dan anggun menggendong tas carrier yang besarnya setengah dari tubuh kami. Ya, hari itu, detik itu, mereka akan memulai petualangan pendakian Gunung Pangrango 3017 mdpl. Rencana perjalanan, perlengkapan, logistik, finansial dan tentunya fisik yang prima telah mereka siapkan.
Let’s go. Kami memulai perjalanan pagi itu dengan menaiki armada transjakarta menuju terminal Kampung Rambutan. Perjalanan dari halte Bidara Cina ke Kampung Rambutan membutuhkan waktu sekiranya 40 menit dengan biaya standar transjakarta, 3500 rupiah. Setibanya di terminal, kami langsung mencari warung makan, mengisi perut menimbun energi untuk mengarungi hebatnya petualangan kita nanti.
Pukul 07.30 kami telah duduk manis di dalam bus ber-ac Marina jurusan Kampung Rambutan – Cipanas. Sepanjang perjalanan Jakarta - CIbodas, pikiran, hati serta kaki kami sudah tak sabar untuk menyusuri keasrian hutan kawasan Taman Nasional Gede-Pangrango. Satu-dua pengamen jalanan menyanyikan lagu bermelodi indah mendayun-dayun di dalam bus yang memperindah imajinasi kami akan puncak Pangrango. Kami bebas berimajinasi bentuk, kondisi serta pemandangan yang ada di sana. Bebas sebebas-bebasnya.
Pukul 10.30, badan kaku setelah 3 jam perjalanan yang panjang, kami akhirnya sampai di pertigaan Cibodas. Dan kamipun harus melanjutkan perjalanan dengan angkot kecil menuju taman wisata Cibodas. Tempat itu tidak lah terlalu jauh dari tempat kami turun dari bus tadi, kira-kira 15 menit perjalanan menggunakan angkot. Jalan sempit dan berlobang tak rata sukses mengocok perut kami yang yang sudah kembung oleh ac bus.
Para pecinta alam pada hakekatnya mempunyai sifat friendly, carefull, dan responsible yang tertanam dalam jiwa semereka, entah itu tumbuh dengan sendirinya atau mereka dapatkannya dalam suatu perjalanan yang begitu hebat dalam masa lalu mereka.
Didalam angkot kecil yang membawa kami ke taman Cibodas, kami bertemu dengan seorang laki-laki paruh baya sesama pecinta alam yang akan menuju puncak Gede, Gonima Pasaribu namanya. Berasal dari Medan, berkerja di Jambi dan ingin menaklukkan gunung Gede. Entah apa yang membuatnya bersemangat untuk menaklukkan gunung Gede. Jauh-jauh dari Jambi dating ke Jawa Barat untuk mendaki gunung adalah hal yang sangat menggelikan bagi kalangan awam. Tapi tidak bagi dia, ada kepuasan tersendiri yang didapat dari naik gunung. Entah apa saya tidak tahu. Setiap orang pendaki gunung pasti mempunyai kepuasan yang berbeda satu sama lain. Itu pasti dan itu nyata.
Setibanya di tempat wisata Cibodas, Ayu bergegas untuk mengurus perizinan. Sebagaimana mereka ketahui bahwa perizinan di Gede-Pangrango sangatlah susah, para calon pendaki harus mem-booking tempat dahulu dengan cara online. Aturan-aturan yang diterapkan di Gede-Pangrango juga sangatlah ketat. Tidak boleh bawa senjata tajam, tidak boleh membuat api unggun, dan harus tepat waktu untuk sampai di pos penjagaan ketika kembali turun kelak. Jika semua ini dilanggar, denda 7 kali lipat telah menunggu para pendaki. Tapi semua itu tak lantas menyurutkan para pecinta alam untuk mendaki gunung Gede-Pangrango. Kedua gunung ini tetap menjadi gunung terfavorit untuk didaki di Jawa Barat.
Setelah Shalat Jumat, makan, dan menyelesaikan administrasi, memulailah perjalanan perjalanan hebat kami menuju Puncak Pangrango. Guyuran hujan tak menyurutkan semangat kami untuk memulai perjalanan. Meskipun hujan itu mulai dari 13.00, sampai pukul 15.00 hujan itu tak kunjung reda. Akhirnya dam 15.30 kami ber-6 beranjak dari pos registrasi, mendaki, menyusuri jalan berspal yang menajak dan basah oleh guyuran hujan.. Tapi tak apalah, toh hujan itu anugrah, dan doa akan mujarab ketika hujan. “Berkatilah langkah kami, Lancarkanlah perjalanan kami, Hindarkan kami dari segala bencana, Selamatkan kami sampai kami kembali ke rumah.” Itulah rangkaian doa yang mereka panjatkan diawal perjalanan.
Hujan Saat Mulai Perjalanan

Di pintu jalur pendakian, ada pos pemeriksaan terakhir. Surat ijin, perlengkapan, konsumsi yang dibawa semua diperiksa oleh penjaga pos. Segala macam senjata tajam yang panjangnya lebih dari 20cm dilarang dibawa naik dengan alasan demi kelestarian alam. Takutnya sejata tajam itu buat menebang atau merusak alam sekitar.
 Waktu terus berjalan sejalan dengan langkah kaki 6 pemuda-pemudi gagah yang mempunyai impian menapakkan kaki mereka di puncak Pangrango esok pagi. Butuh waktu 1 jam perjalanan untuk mencapai pos air terjun. Setelah melewati pos air terjun, jalan setapak yang kita lewati jauh lebih berat dari sebelumnya. Jalan setapak menajak, licin, dan becek. Hari pun mulai gelap, sepanjang rute perjalanan, hanya pepohonan lebat nan rimbun menghiasi panorama kanan-kiri kami, membuat kami mau tidak mau mengeluarkan senter ataupun headlamp untuk penerangan. Setiap 30 menit berjalan, kami istirahat 10 menit memulihkan nafas yang sudah tersengal. Begitu seterusnya dan seterusnya, sampai kami tiba di camp Kandang Badak. Semakin malam, udara dingin ala gunung-gunung di Indonesia mulai menusuk-nusuk tubuh kami seiring stamina kami yang semakin mendekati batasnya.
Setelah 3 jam perjalanan yang penuh dengan tetes keringat, kami akhirnya tiba di sumber air panas. Asap mengepul begitu tebalnya mengakibatkan pandangan kami terganggu. Senter bercahaya kuning sangat dibutuhkan di tempat ini. Jalan yang berair panas sekitar 40-50 derajat celcius dan berbatu, sebelah kiri tebing dan air terjun berair panas, ditambah sebelah kanan jurang yang menganga dalam membuat kami ekstra hati-hati melewati tempat ini. Panjang jalur yang melewati air panas ini sekitar 20 meter. Setelah melewati air panas, disana ada pos yang selalu ramai di jejali para pendaki yang istirahat. Tempat ini merupakan favorit buat pendaki untuk beristirahat, baik itu untuk memasak ataupun untuk mengendorkan otot-otot kaki yang tegang dengan cara menclupkan kaki ke air panas. Sungguh nyaman dan mengasikkan.
5 menit perjalanan dari air panas, akhirnya kami sampai di Kandang Batu. Salah satu tempat peristirahatan yang lapang dan nyaman untuk sekedar istirahat sejenak maupun untuk bermalam mendirikan tenda. Tetapi kami hanya istirahat sejenak disana. Ngemil sebagian snek yang kami bawa untuk mengisi energi. Kami tiba di pos Kandang Batu sekitar pukul 20.00, jadi kami telah menempuh 4 jam perjalanan.
Setelah 15 menit istirahat, kami pun segera melanjutkan perjalanan menuju pos berikutnya, pos Kandang Badak. Kami tak punya waktu banyak untuk sampai di Kandang Badak. Hari yang terlanjur gelap dan hujan yang masih saja turun membasahi bumi membuat kami harus sesegera mungkin mendirikan tenda dan memasak untuk makan malam kami. Jalan setapak yang ada di hadapan kami semakin terjal dan menanjak. Tapi itu semua tak dapat melunturkan semangat kami untuk terus berjalan sampai Kandang Badak malam itu.
Kandang Badak dan tumpukan sampahnya
Setelah berjalan sekitar 1jam 15 menit akhirnya kami sampai juga di Kandang Badak. Disini kami langsung cari tempat untuk mendirikan 2 tenda. 30 menit cukup buat kami untuk mendirikan 2 buah tenda beserta pernak-pernik lainnya. Tak usah berpikir panjang kami langsung ganti pakaian hangat dan buat air panas. Malam itu hujan tak kunjung reda. Dengan sukarela teman kami Ayu memasakkan kami makanan ala cheft Ayu. Jangan Tanya soal rasanya, tapi Tanya tetang usaha dia memasak masakan buat kami. Dia masak buat kami selama hamper 2 jam. Bayangkan!! Dimana kami semua tidur karena capek dan ngantuk tegangan tinggi. Sekitar pukul 23.30 Ayu ,membangunkan kami dengan wajah yang memelas. Makanannya udah jadi. Ternyata oh ternyata, dia menumpahkan sup buatannya!! Untung isi supnya masih tersisa banyak, jadi dia menyulap isi sup tadi menjadi masakan yang aneh, sungguh aneh. Aku jadi bingung mau menamai apa masakan itu. Tumis enggak, sup enggak, sayur lodeh juga enggak. Tapi tak apalah, yang penting perut kami terisi oleh makanan sehat, bergizi lengkap. Setelah kami makan beberapa suap nasi dan sayur, kami akhirnya terlelap di dalam tenda. Kami punya waktu 4,5 jam untuk tidur sebelum summit attack esok pagi.
Rencananya pukul 05.00 kami mulai bergerak menuju puncak. Akan tetapi kehangatan yang kami rasakan didalam tenda membuat kami terlena dan malas untuk beranjak dari posisi tidur. Akhirnya pukul 06.00 kami bersiap untuk summit attack dengan menbawa perbekalan secukupnya seperti kopor, gas, nesting, roti, mie instan, air , kopi dan susu. Pagi itu puncak Pangrango terlihat gagah tanpa ternodai oleh awan. Kami menatap kagum dari tempat camp kami, Kandang Badak. Tak sabar hati kami untuk segera menjejakkan kaki kami di puncak tertinggi Gunung Pangrango. Dengan membawa 1 buah carrier dan tentunya camera tak luput dari genggaman kami, kami pun memulai petualangan dihari ke 2.
Jalur pendakian ke Pangrango dan Gede mulai berbeda ketika kita sampai di Kandang Badak. Pangrango ke kanan dan Gede ke kiri. Jalur antara keduanya pun sangat berbeda. Terlihat sekali bahwa jalur ke puncak pangrango jarang dilewat. Pohon dan semak-semak masih rimbun di kanan kiri kami. Tak jarang kami pun harus merunduk ataupun meloncat melewati batang pohon besar yang tumbang di tengah jalan. Jalan setapak yang kami lewati pada awalnya sih gak begitu menyusahkan, hanya ada beberapa tanjakan yang tidak begitu curam. Perlu kalian ketahui, jalan ke puncak pangrango ini merupakan jalur aliran air, jadi jalurnya sempit dan licin, jadi perlu hati-hati.

Medan Yang Berat Menuju Puncak
1 jam beralu. Rasanya tak sabar untuk segera sampai di puncak. Akan tetapi tanda-tanda puncak sedikitpun belum kami temui. Perjalanan masih jauh. Berhenti sejenak untuk ngemil dan minum sambil berfoto-foto ria di tempat yang berpanorama indah, puncak gunung Gede. Ya di perjalanan menuju puncak, kami singgah dulu di tempat yang lumayan luas untuk berfoto-foto. Dari sini gagahnya puncak gunung Gede terlihat jelas se jelas jelasnya. Background yang indah untuk berfoto.
Setelah puas berfoto-foto, kami pun melanjutkan perjalanan. Jalan yang kami lalui lebih berat dan extreme. Tanjakan curam dan licin mewarnai sisa perjalanan kami. Setelah berjalan cukup lama, kami belum juga sampai di puncak Pangrango. Rasa frustasi dan putus asa telah merasuk dalam pikiran kami. Akan tetapi kami masih bertekat untuk terus berjalan dan terus berjalan untuk sampai di puncak. Pukul 08.10 setelah berjuang keras menapaki bebatuan dan tanjakan curam, kami berhasil menginjakkan kaki di puncak Pangrango 3019 mdpl.
Perasaan yang tak bias diungkapkan degan kata-kata. Bangga tentunya. Senang itu pasti. Syahdu menyelimuti hati. Capek tak terelakkan lagi. Lapar tak tertahankan. Itulah yang kami rasakan ketika sampai puncak tertinggi Gunung Pangrango. Sempat berfoto-foto sejenak di tugu Puncak Pangrango, kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan menuju Mandala Wangi, dimana padang Edelweis terhampar, tempat yang indah nan nyaman. Kami tak bias menahan hasrat untuk berfoto-foto ditengah rimbunnya pohon Edelweis yang tumbuh alami di tempat ini.
Mandala Wangi

 Kami menghabiskan hampir 1,5 jam di surganya Pangrango. Setelah puas sarapan pagi dan foto-foto, kami memutuskan turun sebelum cuaca memburuk. Maklum bulan April masih bulan yang sering diguyur hujan. Saat kami meninggalkan Mandala Wangi, sekitar pukul 09.15 kabut sudah menyelimuti tempat itu. Perjalanan turun menuju camp di Kandang Badak hanya membutuhkan waktu 1,5 jam. Kewaspadaan dan kehati-hatian sangat disarankan ketika turun dari Puncak Pangrango. Jalan yang licin dan curam membuat kita rentan akan terpeleset dan terjerembab. Kalo tidak beruntung malah kaki kita dapat terkilir. Pukul 11.30 akhirnya kami tiba di Kandang Badak, dan kamipun langsung packing dan bersiap untuk perjalanan turun.
Pukul 13.00 akhirnya kami mulai untuk perjalanan turun. Apesnya, perjalanan turun kami ditemani oleh rintik hujan yang turun membasahi badan letih kami. Dengan terpaksa kami menerobos hujan dan berusaha untuk sampai di pos Cibodas sebelum matahari tenggelam. Stamina yang sudah menurun dan fisik yang telah letih membuat perjalanan turun kami terasa berat. Akan tetapi dengan semangat juang dan mental yang telah diasah, kami tak menyerah untuk berjalan dan terus berjalan.
Pukul 17.00 akhirnya kami ber-7 telah sampai di Pos pintu masuk. Kami berhenti untuk makan dan beristirahat sejenak menunggu hujan reda.
Setelah lebih dari 1 jam menunggu hujan tak kunjung reda. Kami terpaksa menerjang hujan yang turun begitu lebatnya petang itu. Tak terelakkan lagi jika pakaian kami basah meskipun sudah pakai ponco. Setelah sampai di Taman Cibodas, kami langsung mencari angkot yang mengantarkan kami ke jalan raya. Setibanya di sana, kami langsung cari rumah makan dan pukul 20.30 kami naik bus ke Kampung Rambutan. Kami sampai di Bidara Cina pukul 23.15

You Might Also Like

4 komentar

  1. Iso nulis ternyata.. Sippo

    ReplyDelete
  2. ngece banget ki -_- anak muda harus produktif hahaha

    ReplyDelete
  3. Luar Biasa, seru bacanya, apapun kondisinya kenangan akan tetap melekat di hati. #salamrimba

    ReplyDelete